MURATARA | DETAKNESW – Proyek rehabilitasi Puskesmas Pembantu (Pustu) Maur Baru di Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) kembali menuai sorotan tajam. Meski progres pekerjaan diklaim telah mencapai 80 persen, kualitas material yang digunakan di lapangan dinilai jauh dari standar konstruksi bangunan pelayanan kesehatan.Sabtu.(25/10/2025)
Pantauan wartawan di lokasi menunjukkan sejumlah kejanggalan pada material utama. Pada bagian teras, kontraktor diduga menggunakan besi berukuran kecil, bahkan tampak hanya berkisar ukuran 6–8 mm, yang dinilai sangat tidak layak untuk menopang struktur bangunan fasilitas publik. Penggunaan besi sekecil ini dikhawatirkan membahayakan kekuatan dan umur bangunan.
Di bagian atap, pelaksana proyek juga disinyalir memakai reng baja ringan tipis, bukan taso berkualitas seperti yang lazim digunakan untuk fasilitas kesehatan. Kondisi ini menguatkan dugaan adanya penurunan spesifikasi (spek turun) untuk menekan biaya.
Tidak hanya itu, material dan struktur cor menjadi sorotan paling serius. Cor bangunan terlihat memakai pasir sertu tanpa batu split, padahal batu split merupakan komponen utama untuk mengikat beton agar kuat dan kokoh. Penggunaan pasir sertu tanpa split membuat rentan retak, rapuh, dan berpotensi membahayakan keselamatan.
Terlihat pula sejumlah titik cor yang menempel asal pada dinding, tidak diratakan dengan benar, dan tampak dikerjakan terburu-buru. Kondisi ini dinilai menunjukkan lemahnya pengawasan teknis serta minimnya kontrol kualitas.
Undang‑Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung jo. Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja — Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa “setiap bangunan gedung harus memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung”.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2024 tentang pendirian dan persyaratan fasilitas kesehatan — Pasal 20 huruf (2): “Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendirian puskesmas pembantu harus memperhatikan ketentuan teknis pembangunan bangunan gedung negara dan persyaratan kemudahan bangunan gedung.”
Padahal, kawasan tersebut diketahui rawan banjir. Warga mengaku air pernah mencapai lebih dari satu meter, hingga merusak obat dan peralatan medis Pustu. Dengan kondisi geografis seperti ini, penggunaan material cor tanpa split dinilai sebagai kesalahan fatal.
Tak hanya soal struktur, warga juga keberatan karena material tidak sesuai dan bangunan tidak sesuai dengan dana, menambah kesan buruknya manajemen proyek.
Padahal proyek bernilai Rp 455.450.000, bersumber dari APBD Muratara TA 2025 dan dikerjakan oleh CV Raditya Perkasa Mandiri dengan masa kerja 90 hari kalender. Dengan anggaran hampir setengah miliar, publik menilai hasilnya tidak sepadan.

“Besi kecil, beton tanpa split, rangka tipis, kanopi saja tidak ada. Ini fasilitas kesehatan, bukan bangunan percobaan,” tegas (Irlan) warga dengan nada kecewa.
Masyarakat mendesak Dinas Kesehatan dan tim pengawas turun langsung dan tidak hanya memeriksa berkas, tetapi melihat fakta material di lapangan.
“Uang rakyat jangan dihabiskan untuk bangunan asal jadi. Harus dievaluasi sebelum terlambat,” ujar warga lainnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak rekanan maupun Dinas Kesehatan belum pernah turun kelapangan melihat kondisi bangunan juga tidak pernah memberikan klarifikasi resmi atas temuan tersebut. (habi)


