JAKARTA | DETAKNEWS – Ada pepatah lama yang berbunyi: “Kalau sudah jatuh, jangan menimpa orang lain dengan bangkai kebohongan.” Sayangnya, pepatah itu tampaknya tidak berlaku bagi Teuku Yudhistira. Setelah resmi dipecat dari Ikatan Wartawan Online (IWO), ia bukannya introspeksi diri, malah “bersilat” membabi buta demi ambisi pribadi.
Alih-alih menata hidup pasca pemecatan, Yudhistira justru berulah: menyalahgunakan atribut organisasi, mendirikan wadah tandingan, hingga nekat mengklaim logo IWO sebagai miliknya dan menggugat organisasi yang dulu membesarkannya ke Pengadilan Negeri Medan. Sebuah ironi yang tidak hanya memalukan, tetapi juga mencederai marwah profesi wartawan online di Indonesia.
Jejak Hitam Yudhistira
IWO, organisasi profesi wartawan berbasis media online yang lahir pada 8 Agustus 2012 di Jakarta dan berdiri atas semangat 22 wartawan pendiri, telah menorehkan legitimasi hukum yang sah. Legalitas IWO ditegaskan melalui Akta Pendirian Nomor 22 pada 12 Juni 2017 dan kini sah dipimpin Ketua Umum Dwi Christianto, S.H., M.Si. untuk periode 2023–2028.
Namun, konsistensi organisasi ini ternoda oleh ulah Yudhistira. Ia terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap AD/ART, mulai dari menerbitkan surat keputusan palsu, menyalahgunakan atribut, hingga menghasut pengurus daerah melawan kepengurusan sah. Karena itu, pada 10 Juli 2023, melalui rapat pleno dan mandat Mubes II PP IWO, Yudhistira resmi dipecat dengan SK Nomor 019/Skep/PP-IWO/VII/2023 yang bersifat sah, final, dan mengikat.
Ambisi Buta dan Gugatan Rapuh
Tidak terima diputus hubungan, Yudhistira malah mendirikan organisasi tandingan bernama Perkumpulan Wartawan Warta Online (WWO) pada 29 Juli 2024. Ironisnya, ia masih terus menempelkan diri pada IWO dengan cara kotor: pada Agustus 2025, ia mendaftarkan hak cipta logo IWO atas nama pribadi dan menggugat IWO di PN Medan.
Fakta sejarah jelas menyebutkan, logo IWO adalah karya kolektif para pendiri sejak 2012 dengan ide dasar dari Iskandar Sitorus. Maka klaim Yudhistira bukan hanya cacat hukum, tapi juga berlandaskan itikad buruk. UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 65 tegas menyatakan, logo organisasi tidak bisa dicatat sebagai hak cipta pribadi. Lebih jauh, Pasal 70 UU Hak Cipta bahkan memungkinkan pembatalan pencatatan jika diajukan dengan niat buruk.
Merusak Marwah Jurnalisme
Bagi IWO, tindakan Yudhistira bukan sekadar sengketa hukum, melainkan preseden buruk bagi dunia pers. Dengan manipulasi fakta sejarah, penyalahgunaan atribut, dan upaya memperjualbelikan identitas organisasi, ia telah menodai martabat profesi wartawan itu sendiri.
“Sejak lahirnya IWO pada 2012, identitas, logo, dan nama organisasi adalah milik kolektif, bukan milik pribadi. Pemecatan Yudhistira sudah sah dan final. Maka setiap klaim yang diajukannya adalah pelecehan hukum sekaligus upaya perampasan identitas organisasi. Kami siap melawan di setiap arena hukum,” tegas Ketua Umum PP IWO, Dwi Christianto, S.H., M.Si.
Ia menambahkan, “Publik harus tahu, manuver Yudhistira hanyalah permainan penuh kebohongan dan cacat formil maupun materiil. Kebenaran sejarah tidak bisa digugat, dan marwah profesi wartawan online tidak bisa diperjualbelikan.” (PD.IWO Muratara)


